Sinarberitanews.com, KABUPATEN BEKASI - Berbagai keluhan masyarakat petani di Kabupaten Bekasi, khususnya di Desa Jati Baru dan Desa Tanjung Baru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Prov. Jawa Barat. Dimana keluhan masyarakat petani mulai dari mengelola lahan dengan hand tracktor, menanam padi (Nandur) sudah menghabiskan biaya kurang lebih Rp 2,4 juta, belum lagi upah untuk nanam padi untuk beberapa orang, pupuk dan biaya perawatan lainnya hingga sampai 3 bulan 15 hari baru panen, demikian dikatakan sejumlah petani saat dikonfirmasi langsung ke lapangan.
Menurut petani yang langsung dikonfirmasi menjelaskan, bahwa mereka masih menyewa lahan untuk bertani, menanam padi, karena lahan pertanian teknis itu sudah dikuasai pihak ketiga, pengusaha atau lebih akrab dikenal developer pengembang. Mereka (Petani Red) menyewa lahan tersebut sebesar Rp 2 juta/hektare. Jika dikalkulasi semua biaya pengelolaan sampai panen, sungguh tidak sebanding. Untuk sekarang ini, harga gabah hanya Rp 400 - 410/kg. Rata-rata harga per-kwintal sebesar Rp 350 ribu, tutur petani, Kamis (14/5)
Dikatakan, hasil dalam 1 Hektare (Ha) dapat menghasilkan 5 ton setiap panen dan itu sudah cukup bagus, kebanyakan di bawah 5 ton per-hektare hasil panennya. Jika tidak ada gangguan wabah boleh dapat hasil 5 ton/panen. Masalahnya yang menjadi keluhan kami petani, tidak pernah ada perhatian pemerintah untuk menaikan harga gabah. Padahal setelah menjadi beras harganya cukup tinggi. Misalnya harga beras satu karung timbangan 50kg dengan harga Rp 12.000,-/kg (Liter) mencapai Rp 600 ribu. Sementara gabah dengan harga Rp 400,-/kg dikali 50 kg hanya ditotal Rp 20.000,- jadi cukup jauh perbedaannya atau tidak sebanding, itulah mengakibatkan petani semakin terpuruk, tutur para petani itu.
Menurut sejumlah petani, untuk memborong dan membeli gabah di daerah itu adalah para tengkulak dan tengkulaklah yang menentukan harga gabah di Desa Jati Baru dan Tanjung Baru. Dikatakan, mereka tidak pernah me jual gabah mereka ke Bulog, padahal sangat dekat kantor Bulog di daerah itu, namun tidak pernah menjual gabah ke Bulog itu, karena tidak pernah ada niat Bulog untuk membeli gabah di daerah itu. Semua gabah dijual ke Tengkulak, ujar para petani.
Anehnya, hampir semua lahan di daerah itu telah dikuasai para pengembang. Padahal sudah jelas diatur bahwa lahan pertanian teknis tidak dapat dirubah fungsinya. Tapi kenyataan sudah habis lahan pertanian teknis menjadi industri produktif dan industri non produktif. Demikian dikatakan masyarakat setempat saat Sinar Berita News investigasi langsung ke lapangan. (TS/Pas)