BPN Humbahas Diduga Melakukan Pembodohan Hak Pemohon Pendaftaran Tanah Akan Dilaporkan

BPN Humbahas Diduga Melakukan Pembodohan Hak Pemohon Pendaftaran Tanah Akan Dilaporkan

21/01/2021, Januari 21, 2021


Sinarberitanews.com, HUMBASHAS – Merasa haknya dirampas petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Humbang Hasundutan, pemohon pendaftaran/Pensertifikatan Tanah, M. Aritonang berniat melapor masalah ini ke Kementerian ATR (Agraria Tata Ruang)/BPN RI dan ke Inspektorat. Laporan menurut M. Aritonang akan ditembuskan ke Presiden RI, DPR-RI, Jaksa Agung RI, Kapolri dan Kemendagri.


Menurut M. Aritonang, haknya untuk memperoleh pengesahan Hak Milik (Sertifikat) tanahnya diduga dirampas BPN Humbahas dengan mendalilkan syarat yang diduga keras melanggar hukum. Oknum petugas BPN Humbahas ditengarai kuat bekerjasama dengan calo agar dapat meraup keuntungan dari pemohon pendaftaran/pensertifikatan tanah.


Modus yang dilakukan petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Propinsi Sumatera Utara, diduga keras bertujuan menciptakan PUNGLI secara masif dan terstruktur. Dugaan itu diperkuat keterangan sumber, MA. Aritonang yang menyebut BPN sengaja mempersulit pendaftar dengan meciptakan persyaratan yang isinya melanggar hukum, yakni: mengisi formulir surat pernyataan setuju hasil ukur BPN seolah-olah telah dilakukan pengukuran, padahal faktanya belum dilakukan.


BPN menyuruh pemohon mengisi/menandatangani formulir yang menerangkan sebuah peristiwa seolah-olah sudah terjadi, padahal faktanya belum terjadi. Isi formulir tesebut berbunyi : Bahwa Setelah Diukur Petugas Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan secara Kadasteral, maka terjadi perobahan, Panjang:……….M, Lebar:……..M, Luas:………M2, dengan perubahan tersebut, Saya menyatakan menerima (setuju) hasil pengukuran Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan secara sah dan benar.


Kedua: Bahwa saya menyatakan, apabila dikemudian hari telah terbit sertifikat hak atas tanah tersebut, maka hal itu merupakan tanggung-jawab saya sepenuhnya, dan tidak melibatkan pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan.


Membaca dan memperhatikan isi formulir yang menerangkan sebuah peristiwa seolah-olah telah terjadi, padahal faktanya belum terjadi, pemohon MA. Aritonang memutuskan untuk menolak mengisi dan/atau menandatangani formulir tersebut.


Karena pemohon (MA. Aritonang) menolak mengisi formulir tersebut, petugas BPN Kabupaten Humbang Hasundutan pun menolak pendaftaran /pensertifikatan tanah miliknya.


Tidak berhasil obsi pertama, Petugas BPN kembali menawarkan obsi kedua yang lagi-lagi upaya pembodohan, yakni : terlebih dahulu katanya dilakukan pra ukur baru kemudian didaftarkan. Terhadap obsi ini, pemohon MA. Aritonang kembali menolak, karena menurut dia, sepanjang  27 tahun dirinya menggeluti profesi sebagai wartawan, belum  pernah  membaca, mengetahui ada peraturan atau UU Agraria sebagaimana opsi yang ditawarkan petugas BPN tersebut.


“Apa pun alasannya, petugas dalam melaksanakan tugasnya harus jelas payung hukumnya. Prapengukuran itu berdasarkan apa dan seperti apa Berita Acara (BA) hasil pra pengukuran tersebut. Jika berdasarkan surat perintah Kepala Kantor BPN Humbahas, lalu apa dasar Hukum Siprint Kepala Kantor BPN Humbahas kalau pendaftaran saja belum diterima,” ujar Aritonang.


Maka sangat masuk akal ujar MA. Aritonang, informasi yang menyebut oknum petugas BPN Humbahas bekerjasama yang diduga dengan calo yang  mengakibatkan membengkaknya biaya pendaftaran/pensertifikatan tanah di Kabupaten Humbang Hasundutan.


Informasi kata dia, untuk lahan pertanian yang seluasnya di bawah 4.000 m2, biaya pengurusan sertifikat di BPN  Humbang  Hasundutan, bisa   mencapai Rp.3,5 hingga Rp.4  juta per bidang. Atau, karena keterbatasan wawasan atau waktu barangkali lanjut Aritonang, apa pun saran, masukan, atau obsi yang ditawarkan oknum petugas BPN selalu dirututi, karena jika mengurus sendiri, mereka (pemohon-Red) akan dibuat pusing tujuh keliling.


Ketika persoalan pendaftaran/pensertifikatan tanah ini diusung MA. Aritonang ke dapur Redaksi media untuk  memenuhi ketentuan UU Pokok Pers No.40 tahun 1999 dan  Kode Etik Jurnalistik atau Pers, Dewan Redaksi sepakat untuk dilakukan konfirmasi ke BPN Kabupaten Humbang Hasundutan.


Namun, karena di antara 12 pertanyaan yang  disampaikan dalam surat konfirmasi, lima (5) di antaranya tidak dijawab, yakni: butir 3, 5, 6, 9, dan 10. Misalnya, Butir (3), bagaimana status sertifikat tanah (SHM) di Humbahas yang diterbitkan BPN jika Surat Keterangan Ahli Warisnya menurut Camat tidak ditandatangani, apakah sertifikat/SHM tersebut cacat Hukuml ILEGAL/batal demi hukum.


Butir (5), apakah  jika pemohon disuruh menandatangani surat pernyataan setuju atas hasil ukur BPN padahal belum diukur bukankah itu pelanggaran hukum, Butir (6), sejak kapan BPN menerapkan pra pengukuran, padahal permohonan belum teregistrasi oleh BPN.


Butir (9), sesuai UU Agraria, apakah sudah sesuai biaya pendaftaran tanah untuk lahan pertanian seluas 4.000 m2 ke bawah di Humbahas menelan biaya Rp.3,5 – 4 juta, Butir (10), siapa yang   paling bertanggung-jawab jika pemohon batal mendapat haknya karena BPN membuat persyaratan yang diduga keras melanggar hukum.


Konon, ketika pertanyaan yang belum mendapat jawaban tersebut kembali dikonfirmasi kepada Kepala Kantor BPN Humbahas, Jusen Faber Damanik, lagi-lagi tidak dijawab. Surat konfirmasi   kedua No.021/RED-PP/Konf.2/XII/2020 tertanggal 23 Desember 2020, oleh Kepala Kantor BPN Humbahas, Jusen Faber Damanik melalui suratnya, Nomor : DIP.01.02/56.12.16/I/2021 tertanggal 8 Januari 2021 kembali hanya mengirimkan isi suratnya yang pertama.


Lima butir pertanyaan yang disampaikan wartawan, sama sekali tidak mendapat jawaban. Memperhatikan sikap Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Humbang Hasundutan yang terkesan menyepelekan peristiwa tersebut, pemohon mengaku semakin kecewa dan akan  segera melapor ke Kementerian ATR/BPN RI dan kepada Inspektorat.


Menurut pemohon M. Aritonang, BPN Humbahas telah merampas haknya sebagai warga negara Republik Indonesia untuk memperoleh pengesahan kepemilikan (Sertifikat tanahnya) dengan cara melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Agar permasalahan ini menjadi perhatian serius, laporan kata dia, akan ditembuskan ke Presiden RI, KomnasHAM, DPR-RI, Jaksa Agung RI, Kemendagri, dan Kapolri. (Redaksi)

TerPopuler