sinarberitanews.com-Selain beberapa partai politik yang telah mengumumkan bakal capresnya ke publik, beberapa partai politik lain sedang terus bertimbang untuk menentukan sikap politiknya. Berbagai spekulasi tentang siapa capres dan cawapres masih jadi bahan perbincangan hangat. Mulai dari analis berlatar belakang akademis hingga pengamat politik tongkrongan warung kopi masih akan terus meramaikan ruang publik hingga berakhirnya batas waktu masa pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada 25 November 2023.
Namun demikian, genderang perang Pemilu Presiden 14 Februari 2024 telah mulai ditabuh. Meski masih bergelap-gelap dalam terang, para bakal capres telah curi start dengan berbagai kegiatan kunjungan ke berbagai daerah untuk jumpa fans, bahkan dengan alasan kegiatan keagamaan sekalipun. Pesta demokrasi juga berubah menjadi peperangan di ruang media sosial sebagai ajang saling jegal dan saling jagal penuh penistaan dengan cara-cara biadab tanpa mengindahkan lagi etika dan norma-norma kepatutan.
Inilah praktik demokrasi yang cuma mempertontonkan kemesuman politik oleh sebuah persekongkolan jahat. Persekongkolan jahat yang dilakukan oleh kaum oligarki dengan memainkan praktik mobokrasi dimana rakyat dimobilisasi sebagai ornamen demokrasi. Semua hingar bingar kemesuman politik yang penuh gegap gempita disponsori oleh para plutokrat yang terdiri dari para pemburu rente dimana mereka beramai-ramai ikut menginvestasikan dananya demi mengamankan kelangsungan bisnisnya.
Kemesuman politik seperti ini pada akhirnya menghidupkan sistem kleptokrasi, suatu pemerintahan yang dikendalikan oleh para pemimpin korup (kleptokrat). Kekuasaan digunakan untuk mengeksploitasi rakyat dan kekayaan alam demi menambah pundi-pundi kekayaan pribadi dan memperhebat kekuatan politik mereka.
Ironisnya, kemesuman politik yang terjadi akhirnya dijadikan semacam prosesi ritual lima tahunan yang disakralkan atas nama konstitusi dalam konteks bernegara. Sebuah prosesi ritual yang mempertemukan pemerintah sebagai “Gusti” dengan rakyat sebagai “kawula” di sebuah pasar politik yang bernama demokrasi untuk berinteraksi dan bertransaksi politik secara langsung.
Apa yang terjadi mirip-mirip dengan pementasan teater dimana pemerintah bertindak sebagai produsernya, partai partai politik dan para paslon adalah para aktor pemainnya, para pengusaha menjadi sponsornya, sedang rakyat sebagian jadi figuran yang berperan sebagai relawan, sebagian lagi cuma jadi penonton yang memilih pulang sebelum pertunjukkan berakhir. Itulah sejatinya praktik demokrasi liberal yang berlangsung saat ini.
Demokrasi Indonesia saat ini jelas bukanlah proses politik yang berangkat dari proses permusyawaratan. Sudah barang tentu demokrasi yang jauh dari ruh demokrasi genuine Nusantara ini tidak akan pernah mampu melahirkan wakil rakyat dan pemimpin berorientasi kerakyatan. Apalagi pemimpin yang terpimpin oleh hikmat kebijaksanaan demi kepentingan bangsa (national interest).
Pada konteks itu, Pemilu 2024 (Pileg, Pilpres, maupun Pilkada) tentu bukan hanya sekadar menyoal hal-hal remeh-temeh terkait proporsional terbuka ataupun proporsional tertutup yang sama sekali tidak esensial dan fundamental. Lebih dari itu, persoalan yang mendasar justru terletak pada sejauh mana Pemilu 2024 merupakan pengejawantahan dari Panca Sila khususnya sila ke-empat dan ke-lima yang mensyaratkan tidak hanya terselenggaranya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.
Pemilu saat ini tak lebih hanya sekadar prosedur demokrasi yang dilaksanakan atas nama konstitusi demi menghasilkan produk-produk yang akan mengisi jabatan legislatif, presiden, dan kepala daerah untuk menjalankan fungsi administrasi pemerintahan negara. Namun mereka pastinya bukanlah pemimpin bangsa yang akan memimpin negeri ini demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Gambaran di atas tampak terkesan sarkastik karena memang intensinya diniatkan untuk menelanjangi praktik politik yang tengah berlangsung saat ini. Tentu bukan tanpa alasan, mengingat kemesuman politik yang tengah terjadi saat ini merupakan bentuk kebiadaban yang sungguh-sungguh telah mengkhianati cita-cita bangsa sebagai mana yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Mencermati dengan saksama hal tersebut di atas, dalam rangka Peringatan Hari Lahir Panca Sila 1 Juni 1945, Pemilu 2024 merupakan sebuah pembuktian bahwa peri kehidupan bertanah air, berbangsa, dan bernegara di Indonesia sama sekali belum merepresentasikan apa yang disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya tentang Panca Sila pada 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI tentang prinsip mufakat atas dasar perwakilan dan permusyawaratan.
Prinsip ini didasarkan pada cita-cita untuk membentuk suatu negara yang “satu buat semua, semua buat satu.” Nila-nilai demokrasi diejawantahkan melalui tata cara perwakilan dan etika permusyawaratan. Soekarno dalam pidatonya di hadapan sidang BPUPKI mengatakan, “Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.”
Demokrasi dalam pemahaman Soekarno bukan hanya demokrasi politik yang hanya memberikan kesamaan hak dan kesempatan politik, namun tak kalah penting adalah kesamaan hak dan kesempatan ekonomi. Kesamaan hak dan kesempatan politik yang tidak diimbangi oleh kesamaan hak dan kesempatan ekonomi hanya akan memberikan ruang bagi lahirnya anarkisme politik dan ekonomi, berupa penindasan dan penjajahan oleh kaum elite politik dan oligarki sebagai pemilik kekuasaan politik dan ekonomi terhadap rakyat yang tak lebih hanya menjadi objek politik dan objek ekonomi semata.
Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi hanya bisa terwujud jika ada keterwakilan dari semua unsur kebangsaan di dalam badan permusyawaratan guna menjamin terselenggaranya dua prinsip: Politieke Rechtvaardigheid dan Sociale Vaardigheid, keadilan politik dan keadilan sosial.
Dengan adanya demokrasi ekonomi, maka prinsip kesejahteraan menjadi prinsip ke-4 yang disusulkan oleh Soekarno. Prinsip kesejahteraan adalah prinsip “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.” Mufakat sebagai bentuk demokrasi politik dan kesejahteraan sebagai bentuk demokrasi ekonomi oleh Soekarno disarikan menjadi sosio-demokrasi. Di sinilah letak perbedaan yang mendasar antara demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal yang saat ini tengah giat-giatnya dipraktikkan dalam kehidupan politik di Indonesia.
Apa yang disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya tersebut selaras dengan apa yang sudah dimaklumatkan dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, yang telah menetapkan:
➢ Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu,
Tanah Indonesia.
➢ Kedua : Kami putra dan putri Indoneia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
➢ Ketiga : Kami putra dan putri Indoneia mengaku berbahasa yang satu, Bahasa
Indonesia.
Diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya :
➢ Kemauan
➢ Sejarah
➢ Bahasa
➢ Hukum adat
➢ Pendidikan dan kepanduan
Nilai nilai kebangsaan yang dimaklumatkan dalam Sumpah Pemuda disublimasikan ke dalam Pancasila untuk menjadi dasar negara Republik Indonesia sebagai perwujudan dari nation state seperti yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika kemudian hasil Pemilu 2024 ternyata hanya bisa menghasilkan pergantian kekuasaan tanpa hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maka ini merupakan anggukan kepala bahwa berbagai kebiadaban politik yang tengah berlangsung saat ini merupakan upaya pengkhianatan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif oleh para oligarki yang menjadi komprador dan antek-antek dari proxy kepentingan asing yang sengaja ingin menghancurkan Indonesia dari dalam melalui proses amandemen yang dilakukan sejak tahun 2002.
Menjadi sahih apa yang pernah dinyatakan oleh Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Bangsa dari sebuah negeri yang harus tetap berperang melawan penjajahan oleh negara yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyatnya sendiri. Peperangan antara alam nyata versus alam maya, realita versus ilusi!!!
Namun bagi mereka yang eling dan waspada, Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan, lagi-lagi tidak lebih hanya sebuah pembuktian faktual bahwa senyatanya demokrasi telah bermutasi menjadi demonkrasi (demoncracy). Demokrasi telah berubah sifat dan perilakunya menjadi demonik yang serba sarat dengan tipu daya kemesuman, kenistaan, cemar, kejam, bengis, dan keji.
Jika praktik demonkrasi hyperliberal tetap dipertahankan dan terus berlangsung dari waktu ke waktu, jangan heran jika anak anak negeri dalam jangka panjang akan kehilangan keteladanan akan sikap kepemimpinan, kebangsawanan dan kenegarawanan.
Inilah nasib sebuah negara merdeka, tetapi sejatinya belum merdeka sebagai sebuah Negeri. Negeri tanpa pemimpin yang terjajah oleh negaranya sendiri secara konstitusional!!!
Juru Bicara Kebangkitan Pergerakan 98
Embay Supriyantoro
Email: kebangkitan.pergerakan98@gmail.com
(Redaksi)